Jurnalis: Suryono
Blora, PANI News.- Sejarah Sunan Ngudung di Desa Ngloram Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah Indonesia, ditulis ulang pada 26/2/2025.
Menurut sumber awal saat itu, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah yang ada di Desa Ngloram, yang bernama atau biasa dipanggil Kyai Arifin, "Ini dari cerita turun temurun yang saya dengar dari orang tua terdahulu, untuk masalah pesarean, yang jelas adalah makamnya orang yang baik, orang yang dicintai oleh Allah, sebabnya apa, dulu sekitar abad 10 atau 11, ada kerajaan Wura Wari, tempatnya di Ngloram, itu imbang dengan jamannya Kahuripan, sebelum Majapahit, jadi abad 10 abad 11 ada Kerajaan Wura Wari dan dimana satu, rakyatnya sudah sangat sejahtera, Raja Wura Wari adalah Raja yang sangat bijaksana, dan membawa masyarakatnya adil makmur, sejahtera, dan agama saat itu Hindu, lantas beberapa tahun, mungkin beberapa ratus tahun setelahnya, namanya juga kerajaan, mungkin mengalami pasang surut, lah sampai masalah tidak adanya Kerajaan Wura Wari saya tidak tahu.
Setelah itu ada Kerajaan lagi di sekitar sini, yang terkenal dengan Kadipaten, namanya Kadipaten Jipang Panolan, Kadipaten Jipang Panolan itu ikutnya Demak Bintoro, Jipang Panolan saat itu, luasnya tidak hanya di Desa Jipang saat ini, mungkin 1 atau 2 Kecamatan, bahkan beberapa Kabupaten jika saat ini, hanya kita khusnudzon saja, mungkin saat itu dengan adanya Kerajaan Jipang Panolan, dan mungkin era saat itu era Islami, penduduk di sekitar wura wari pun melebur dengan damai, mungkin ikut Jipang Panolan atau bagaimana saya juga tidak tahu.
Adanya Wura Wari dan Jipang Panolan menyatu dengan damai, meskipun perbedaan istilahnya pemerintahan kerajaan. Terus selanjutnya yaitu tentang Kadipaten Jipang Panolan, saat itu menjadi bawahannya Demak Bintoro yang menjadi Kesultanan, yaitu terjadi polemik dengan Majapahit, dan itu ada dalam kitab akhlal mustamaroh kitabnya mbah Fadhol. Jelas disitu karena konflik, kita khusnudzon saja karena urusan politik menurut keyakinannya masing masing,
setelah itu terjadi peperangan antara Majapahit dan Demak, saat itu Senopatinya adalah Raden Usman Haji, yang merupakan Bapaknya Sunan Kudus, atau yang terkenal dengan Sunan Ngudung.
Mungkin perang beberapa kali, dan pada saatnya, Raden Usman Haji Wafat, atau Gugur, di medan perang, antara Babad dan Mojokerto, jadi pertengahannya mana tidak tahu, mungkin diantara Babad dan Jombang, perangnya disitu dan Gugurnya juga di situ. Terus Sunan Ngudung, itu karena beliau adalah ponggawa kerajaan, maka dibawa pulang jenazahnya, sampai ke Demak, juga ada kemungkinan, sebelum dibawa ke Demak, karena memang Sunan Ngudung itu menjadi penasehatnya Kerajaan atau Kadipaten Jipang Panolan, sangat erat sekali Sunan Ngudung dengan Jipang Panolan, maka sebelum perang Sunan Ngudung sering ke Jipang Panolan, karena menjadi penasehat di Jipang Panolan.
La makanya di sarehan ini, yaitu penasehat itu kalau sudah di Kerajaan atau di Kadipaten itu, tidak hanya sehari dua hari, jaman saat itu dua bulan tiga bulan, dan yang dilakukan seorang Wali seperti Sunan Ngudung adalah juga wiridan, atau tirakat dan sebagainya, tempatnya itu ya di Pesarean ini.
Ada dua kemungkinan, pertama memang gugurnya Sunan Ngudung di Babad, itu dibawa ke Demak, lah itu sebelum ke Demak, itu istirahat disini, karena sebuah penghormatan kepada orang orang Jipang Panolan, dan sangat berharap sebelum dibawa ke Demak di Sarekan disini (Ngloram) dulu, terus dibawa ke Demak, dimakamkan di situ.
Yang kedua adalah, karena seorang Wali, tirakatnya pun, ditempat manapun, tempat itu dikatakan keramat, seperti Sunan Bonang, ada tempat pasujudannya saja sudsh seperti itu.
Jadi kalau ini adalah sebagian mengatakan, makamnya Sunan Ngudung, itu juga ada kemungkinan, mungkin juga tidak sampai di Demak terus dimakamkan bukan disini juga bisa, yang kedua, karena orang dulu seperti wali dulu, entuk morine, entuk apane, kerandane itu merupakan berkah tersendiri. Bahkan dimakomkan disitu saja berkah, yang jelas disini ada Sejarahnya Sunan Ngudung, entah Makamnya, Entah Kerandanya, atau pasujudannya, erat sekali dengan Sunan Ngudung, yang merupakan bapaknya Sunan Kudus. Sampai Sunan Ngudung sedu, Sunan Kudus dekat sekali dengan Aryo Penangsang, jadi kita tidak khusnudzon baik yang namanya Wura Wari, maupun Kadipaten Jipang Panolan, Sunan Ngudung itu tetap Kerajaan terbaik , namanya saja membawa kebaikan, kesejahteraan, dan saya selama disini, dinamakan Pesarean, atau tempat peristirahatan." Ungkapnya.
Sedangkan menurut Suryono, Ketua Perkumpulan Jurnalis Indonesia Demokrasi Kabupaten Blora dan Ketua Pasukan Adat Nusantara Indonesia DPD I Provinsi Jawa Tengah, kepada Kyai Arifin, berpesan, "Jangan lupa pak Yai, untuk membuat rutinan seperti Yasin dan Tahlil disana, apalagi sudah tau banyak sejarah dan silsilah beliau". Ucapnya.
Kemudian langsung di jawab, "Njih Insya Allah, saya dan santri pondok saya Insya Allah akan rutinan tempat tersebut. Diketahui, Kyai Arifin memang pengasuh satu-satunya pondok pesantren yang ada di Desa Ngloram dengan nama, Pondok Pesantren Al-Anwar, yang beralamat di Jalan Bengawan Solo Desa Ngloram Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah.
KISAH SUNAN NGUDUNG AHLI PERANG DARI PALESTINA
Diriwayatkan dalam beberapa sumber yang masyhur, di balik masifnya dakwah Islam di masa Walisongo abad ke 15, ada seorang ulama dari Baitul Maqdis bernama Maulana Utsman Haji atau dikenal Sunan Ngudung. Ia datang mengarungi samudera sehingga sampai ke Ampel Denta, Surabaya.
Dari garis silsilah, Sunan Ngudung putra Sultan di Palestina bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha yang melakukan hijrah fi sabilillah hingga ke Jawa. Di Kesultanan Demak diangkat menjadi Panglima Perang. Selain itu, ia seorang Imam Masjid Agung Demak. Dikarenakan pandai berperang, oleh Maulana Rahmat Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) direkomendasikan kepada Raja Majapahit untuk menjadi pelatih tentara kerajaan. Setiap kali mendidik militer, banyak sekali anak didiknya menjadi seorang prajurit yang tangguh.
Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penyebar Islam di tanah Jawa yang memiliki pengaruh luas dan signifikan dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa. Inskripsi yang menjelaskan sosoknya pada Masjid Al-Aqsha di kota Kudus, Jawa Tengah menekankan dua gelar yang begitu prestisius yakni Syaikhul Islam dan al-Qadhi. Peran Sunan Kudus sebagai Panglima Perang Kesultanan Demak dibuktikan ketika ikut serta menyerang Portugis di Malaka bersama putra mahkota Sultan Pati Unus. Kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus dibuktikan
ketika melakukan penyerangan ke jantung Ibu Kota Majapahit Girindra Wardhana.Turut menyertai dalam peperangan ini Sunan Giri, Sunan Bejagung, dan Sunan Gunung Djati. Setelah matahari terbit, perang pun pecah dengan sengit. Dengan adanya pasukan-pasukan khusus dari berbagai wilayah, nampak pasukan Demak tak butuh waktu lama untuk bisa menggempur pasukan Girindra Wardhana. Mereka kocar-kacir banyak yang melarikan diri.
Pasukan Demak terus merangsek maju, hingga sampai di Kota Praja Trowulan, hanya saja waktu itu istana sudah dikosongkan. Kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus juga mampu dibuktikan dalam upaya pemberantasan gerakan kudeta yang dilakukan oleh Ki Ageng Pengging murid dari Syaikh Siti Jenar yang konon mengajarkan ajaran menyimpang. Sementara itu, selain menjadi komandan militer, atas kedalaman ilmu fiqih dan ketatanegaraan yang dimilikinya, pada masa berdirinya Kesultanan Demak, beliau diminta bersama Sunan Giri untuk menyusun sebuah kitab undang-undang yang akan diterapkan sebagai sumber hukum kesultanan.
Dari usaha yang dilakukan kedua tokoh tersebut, maka lahirlah sebuah kitab hukum undang-undang pidana maupun perdata yang disebut “Angger-Angger Suryangalam”. Dari sinilah kemudian Sunan Kudus juga dipercaya sebagai salah satu Qadhi atau Hakim Agung di Kesultanan Demak, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di daerah Kudus dan meletakkan semua jabatan yang beliau emban selama mengabdi kepada Kesultanan Demak.
Menara Kudus dan Masjid Al-Aqsa
Ketika Sunan Kudus berdakwah di Kudus, ia membangun masjid. Dikarenakan rindunya terhadap tanah kelahiran, masjidnya diberi nama sama dengan masjid di tanah kelahirannya, masjid suci ketiga umat Islam yakni Masjid Al-Aqsa. Bahkan ada yang meriwayatkan, peletakan batu pertama menggunakan batu dari Baitul Maqdis di Palestina. Masjid Al-Aqsa Menara Qudus dibangun sejak tahun 956 H/ 1549 M.
Di samping masjid itu, ia membangun menara yang sangat cantik, bentuknya seperti candi Hindu, kemudian kota tempat beliau tinggal akhirnya diberi nama dengan kota kelahirannya, pada saat itu Baitul Maqdis atau Yerusalem dikenal dalam dunia Islam sebagai kota al-Quds, maka beliau kasih nama kotanya ini sebagai kota al-Quds.
Berhubung orang Jawa ketika disuruh membaca qof itu susah, maka kota itu dikenal sebagai Kudus. Jadi kota Kudus ini monumen persaudaraan Indonesia dan Palestina sejak abad ke-15 M. Kota Kudus adalah monumen kerinduan tentang Al-Aqsa. Sebuah kota dengan nama yang sama dengan tempat asal Sunan Ngudung. Bahkan, Kudus merupakan satu-satunya nama tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab di seluruh tanah Jawa. Kudus diambil dari nama tempat asal Sunan Kudus yang pada masa itu memang popular di sapa Al-Quds. Maka dalam lisan masyarakat Jawa pada masa itu, disebutlah dengan nama Kudus karena lebih mudah diucapkan.
Yang menarik bukan sekadar nama kotanya. Dari segi nama bangunan dan tempat pun dibuat layaknya miniatur di Baitul Maqdis sebagaimana dalam buku Solichin Salam (1977) yang berjudul Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam yang dikutip Dwi Wahyuningsih (2021). Seperti nama Al-Aqsha pada masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus yang senama dengan masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis. Kemudian, nama gunung yang ada di sebelah utara Kota Kudus yang bernama Muria. Jika kita menengok lokasi atau peta di Palestina, ada sebuah bukit karang dengan nama serupa, yakni Moriah yang kelak akan dijadikan sebagai Masjid Umar.
Solichin Salam (1977) dalam Dwi Wahyuningsih (2021), penamaan Muria berasal dari nama bukit di Palestina. Menariknya, di atas Gunung Muria tersebut juga didirikan masjid yang pendiri masjid tersebut juga bernama Umar atau lebih tepatnya Umar Said (Sunan Muria) sebagaimana bukit Moriah dengan Masjid Umar yang didirikan Umar ibn Khattab ketika datang ke Baitul Maqdis. Dari deretan fakta ini, tidak aneh rasanya jika kita sebut Kota Kudus sebagai miniatur Baitul Maqdis.
Mulai dari nama kota, masjid, hingga gunungnya pun nampaknya memang sengaja disesuaikan dengan kondisi tempat di Baitul Maqdis. Kota Kudus, layaknya sebuah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha. Bukan hanya monumen kerinduan Sayyid Ja’far As-Shadiq dengan tanah kelahirannya, namun boleh jadi di masa dewasa ini, juga adalah kerinduan kita sebagai umat muslim terhadap pembebasan Al-Aqsha dari tangan para penjajah Zionis. Wallahu a’lam.
Sunan Ngudung Merupakan Ayah dari Sunan Kudus.
Beliau masih punya hubungan saudara dengan Sultan Mesir yang memiliki nasab dekat dengan Rasulullah SAW.
Pada perjalanannya, Sunan Ngudung pernah ditunjuk sebagai Imam Masjid Demak oleh gurunya. Kemudian, ia juga pernah ditunjuk menjadi panglima perang oleh Raden Patah. Pada tahun 1478, Sunan Ngudung gugur dalam peperangan melawan Kerajaan Majapahit. Sejak saat itu, kepemimpinan beliau digantikan oleh Sunan Kudus.
Kisah Sunan Ngudung Berguru hingga Diangkat Menjadi Imam
Mengutip buku Sejarah Lengkap Islam Jawa karya Husnul Hakim, Sunan Ngudung memiliki nama lengkap Syekh Usman Haji. Ia merupakan putra dari saudara Sultan Mesir yang memiliki nasab dekat dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Syekh Usman Haji dan adiknya, Rara Dampul pergi ke Cirebon untuk menemui sepupu mereka bernama Sunan Gunung Jati. Setelah bertemu dengan Sunan Gunung Jati beliau direkomendasikan untuk pergi berguru kepada Sunan Ampel di Ampel Denta
Ia pun menuruti perkataan sepupunya tersebut. Syekh Usman Haji mendatangi Sunan Ampel dan berguru ilmu agama kepadanya. Setelah belajar dengan Sunan Ampel, selanjutnya ia diperintahkan oleh gurunya tersebut untuk pergi ke Jipang Panolan, Dusun Ngudung untuk menjadi imam.
Menurut Hikayat Hasanuddin, Syekh Usman Haji diangkat oleh Sunan Ampel menjadi imam keempat Masjid Demak dengan gelar Penghulu Rahmatullah di Undung (Ngudung) menggantikan Sunan Bonang. Sejak saat itulah, Syekh Usman Haji dikenal dengan sebutan Sunan Ngudung.
Setelah menjadi imam di Desa Ngudung, beliau dijodohkan oleh Sunan Ampel dengan cucunya yang bernama Siti Syari'ah. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai dua orang anak, yakni Sayyid Ja'far Shodiq yang kelak dikenal dengan nama Sunan Kudus dan Dewi Sujinah yang kemudian menjadi istri dari Sunan Muria.
Setelah kelahiran kedua anaknya tersebut, Sunan Ngudung pun berperan sebagai guru bagi anak-anaknya. Hingga banyak hikayat yang menyebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah guru pertama dari Sunan Kudus.
Kematian Sunan Ngudung
Menurut buku Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad Ke-15 dan Ke-16 oleh H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Sunan Ngudung wafat pada tahun 1478 Masehi. Pada tahun tersebut, terjadi peperangan antara Kesultanan Demak dengan Kerajaan Majapahit.
Sultan Ngudung diangkat sebagai panglima perang oleh Raden Patah. Ia berhadapan dengan Raden Kusen atau yang dikenal dengan nama Adipati Terung. Adipati Terung merupakan adik tiri dari Raden Patah yang memiliki kesetiaan terhadap Majapahit.
Pada peperangan tersebut, Raden Ngudung tertusuk oleh keris Adipati Terung yang mengakibatkan beliau wafat. Setelah itu, para pasukan perang membawa jenazah beliau ke Demak untuk memakamkannya.
Selepas ayahnya dikuburkan, Sunan Kudus langsung menggantikan posisi Sunan Ngudung sebagai panglima perang untuk melawan Majapahit.
(PHR)
AYAH DAN IBU SUNAN NGUDUNG
Dalam pencarian tentang Silsilah Sunan Ngudung, tim PANI News menemukan sebuah akun bernama Fakta Sejarah Nusantara, yang menulikan karyanya dengan judul , “Menyelusuri KEKERABATAN Makhdum Syarif (MAS) JAAFAR SHADIQ SUSUHUNAN KUDUS Ke Jalur Keluarga SYEKH ARYA BARIBIN AL MAGHRIBI”.
Berdasarkan Kitab "Tarich al-Auliya" yang disusun oleh K.H. Bisyri Musthofa Rembang, Makhdum Syarif Jaafar Shadiq Susuhunan Kudus adalan anak dari Sunan Ngudung, dimana Sunan Ngudung adalah anak dari Raja Pendita. Sementara jika kita mengambil data berdasarkan Serat Walisana, ayah dari Sunan Ngudung bernama Khalifah Kusen (Husain) seorang mubalig di Madura. Namun meskipun Tarich al Auliya dan Serat Walisanga, berbeda informasi terkait data ayah dari Sunan Ngudung, kedua sumber tersebut sepakat sosok ibu dari Sunan Ngudung adalah putri dari Arya Baribin. Di dalam Tarich al Auliya, ibu Sunan Ngudung bernama Raden Ayu Madu Retno binti Arya Baribin, sedangkan dalam Serat Walisana hanya disebutkan Putri dari Arya Baribin.
MENGENAL SYEKH ARYA BARIBIN MAGHRIBI
Syekh Arya Baribin, yang merupakan kakek Sunan Ngudung dari jalur mirza, adalah tokoh ulama penyebar ajaran Islam di Pulau Madura.
Syekh Arya Baribin, tercatat memiliki 2 anak yang bernama Raden Ayu Madu Retno dan Raden Djakandar (Sunan Bangkalan Madura). Raden Djakandar sendiri dikenal dengan nama Sayyid Maghribi, oleh karena inilah diambil kesimpulan bahwa Syekh Arya Baribin adalah juga Sayyid dari keluarga Maghribi..
Dalam Kitab Tarich al Auliya, Syekh Arya Baribin memiliki saudara bernama Ki Ageng Tarub, dimana Ki Ageng Tarub adalah ayah mertua dari Raden Bondan Kejawan, leluhur Dinasti Kelurga Penguasa Mataram Islam. Menurut Serat Sujarah, Ki Ageng Tarub ini memiliki nama Maulana Abdurrahim Maghribi, dan dari data ini semakin memperkuat informasi Syekh Arya Baribin berasal dari keluarga Maghribi.
SILSILAH EMAS SYEKH ARYA BARIBIN AL MAGHRIBI
Adapun silsilah Syekh Arya Baribin Maghribi dengan berdasarkan kepada Serat Sujarah adalah sebagai berikut:
( Makhdum Syarif Jaafar Shadiq Susuhunan Kudus, merupakan anak dari Sunan Ngudung, dimana Sunan Ngudung ber-ibu Raden Ayu Madu Retno binti Syekh Arya Baribin Maghribi )
01. Sayyid Maulana Arya Baribin Maghribi bin
(memiliki saudara bernama Maulana Abdurrahim Maghribi atau Ki Ageng Tarub)
02. Sayyid Maulana Alidakir Maghribi bin
03. Sayyid Maulana Sultan Syarif Musrail Maghribi bin
04. Sayyid Chalab Siddik bin
05. Sayyid Lamasahad bin
06. Sayyid Jabbar Siddiq bin
07. Sayyid Samud bin
08. Sayyid Chahad bin
09. Sayyid Maulana Jenal Alip bin
10. Sayyid Muhammad Ngarib bin
11. Seh Sayidino Muhammad Ngasiki bin
12. Seh Sayidino Ngudukuli Mawurinahari bin
13. Kutub Abikusennil Karkuni bin
14. Kutub Abumul Apari Maullana Ruman Yusi bin
15. Seh Ngaribi Sajidil Ngiski bin
16. Sarip Seh Muhammad Rip (Seh Muhammad Gojali) bin
17. Sayyid Ja'far as Shadiq bin
18. Sayyid Muhammad al baqir bin
19. Sayyid Ali Zainal Abidin bin
20. Sayyidina Husein radiallahu anhu bin
21. Sayyidatuna Fatimah az Zahra (menikah dengan Sayyidina Ali radiallahu anhu) binti
Nabi Muhammad Rasulullah
WaLlahu a’lamu bishshawab
Tari_Jaranan_Kreasi_Sunan_Ngudung_ Untuk_Berdakwah
Kitab Ahla al Musamarah fi Hikayat al Auliya al ‘Asyrah karangan Syekh Abu Fadhol memberikan narasi yang cukup panjang tentang Sunan Ngudung. Sunan Ngudung dikisahkan memiliki peran signifikan dalam peperangan antara kerajaan Demak melawan Majapahit. Pada laporan Babad kerajaan Banten, terjadi konfrontasi antara Demak dengan Majapahit terjadi beberapa tahun. Dua kekuatan yang berhadap-hadapan antara barisan Islam yaitu para ulama dari Kudus, imam masjid Demak di bawah pimpinan Pangeran Ngudung melawan Majapahit yang berafiliasi dengan pasukan dari Klungkung, Pengging dan Terung.
Rekonstruksi peperangan antara Demak dan Majapahit yang dibuat oleh beberapa penulis buku sejarah seakan membenarkan bahwa Ngudung yang memiliki nama asli Utsman Haji lebih dikenal sebagai panglima perang handal pada jamannya. Narasi literer atau referensial berbanding lurus dengan pitutur lisan beberapa informan penelitian ini. Juru kunci makam Sunan Ngudung mengisahkan bahwa Desa Wadung, tempat makam Sunan Ngudung merupakan tempat “persidangan para wali dan pasukan perang” dari kerajaan Demak. Tim peneliti jejak waliyullah penyebar Islam di Tuban Bumi Wali, sempat ditunjukkan goa pertemuan tempat sidang para wali khususnya ketika menyusun strategi perang. Masih
menyusun strategi perang. Masih banyak cerita warga Desa Wadung seputar bagaimana desa ini memiliki peran dan dijadikan tempat pasukan Demak ketika menghadapi perang melawan Majapahit. Hanya saja selain bekas tempat para wali bersidang, artifak yang mendukung pernyataan warga tidak bisa ditemukan.
Selain sebagai panglima perang seperti tergambarkan di atas, Sunan Ngudung memiliki jejak historis sebagai penyebar Islam di wilayah Tuban khususnya di Desa Wadung Kecamatan Soko. Agus Sunyoto menegaskan jejak dakwah Sunan Ngudung adalah pencipta tari jaranan atau jatilan. Tari jaranan digunakan sebagai media dakwah keliling untuk mengumpulkan warga di lapangan desa. Setelah berkumpul kemudian warga diajak untuk membaca kalimat syahadat. Ruh al Dakwah adaptif akulturalif Sunan Ngudung menginspirasi penyebar Islam setelah beliau, sekurang-kurangnya tercermin dalam amaliyah dakwah putranya yaitu Sunan Kudus.
Melacak Geneologi Sunan Ngudung
Raden Utsman Haji memiliki hubungan kekerabatan atau nasab dengan waliyullah lainnya. Utsman Haji adalah putra dari Raden Raja Pandito saudara Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Siti Zaenab. Utsman Haji, Raden Rahmat dan Siti Zaenab adalah putra-putri dari Ibrahim al Asmar. Bagan di bawah diharapkan bisa berbicara lebih jelas tentang garis keturunan Sunan Ngudung.
Ibrahim
Al Asmar Bin Jamadul Kubro/Najmuddin Kubro Dan Condrowulan Binti Raja Campa memiliki tiga orang anak Raden Raja Pendito, Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayidah
Zaenab. Kemudian Raden
Raja Pendito memiliki tiga keturunan. Haji Utsman yang menikah dengan Sayidah Syarifah Binti
Raden Rahmat (Sunan Ampel), Utsman Haji yang menikah dengan Dewi
Sri Binti Raden Syukur Bin Arya Tejo Bin Arya Galuh, dan Ayu Gedhe Tundha. Utsman Haji yang menikah dengan Dewi
Sri Binti Raden Syukur Bin Arya Tejo Bin Arya Galuh memiliki dua anak yakni Sujinah serta Amir
Haji (Sunan Kudus) yang menikah dengan Sayidah Rahil Binti Sunan Bonang.
Garis keturunan Sunan Ngudung apabila ditarik ke atas, maka akan muttashil hingga ke Rasulullah SAW melalui jalur Sayyidah Fatimah al Zahra berputra Zainul Abidin berputra Zainul Hakam berputra Zainul Husain berputra al Zain al Kabir berputra Najmudin al Kabir berputra Najmudin al Kabir berputra Syam’un berputra Ustar berputra Abdullah berputra Abdurrahman berputra Mahmud Akbar berputra Najmuddin Akbar kemudian berputra Ibrahim al Asmar. Ibrahim al Asmar menikah dengan Condrowulan putri Raja Campa. Perkawinan ini menghasilkan tiga putra, salah seorang di antaranya adalah Raden Pandito. Raden Raja Pandito menikah dengan Maduretno binti Arya Briben bin Arya Galuh bin Rondo Kuning bin Arya Mentaun bin Arya Banjaran bin Munding Wangi. Pasangan Suami Isteri, Raja Pandito dan Maduretno ini memiliki tiga anak, salah satunya adalah bernama Utsman Haji yang lebih dikenal dengan Sunan Ngudung.
Berdakwah dengan Tari Jaranan
Konstribusi terpenting dari Sunan Ngudung adalah ikut meletakkan pondasi moderasi dakwah dengan memanfaatkan tarian jaranan. Ada dua pendapat yang menyebutkan tentang asal usul dan tahun kemunculan kesenian jaranan. Pertama, kesenian jaranan mulai muncul sejak abad ke X atau sekitar tahun 1041 bersamaan dengan kerajaan Kahuripan terbagi dua, yaitu bagian timur kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan sebelah barat kerajaan Panjalu (Kediri) beribukota Dhahapura.
Kedua, kesenian jaranan sudah tumbuh dan berkembang sekitar abad 14 – 15 M. Sejarahnya dapat ditracing dari catatan Agus Sunyoto (2012) yang menyebutkan bahwa kesenian ini lahir pada masa transisi jaman Hindu ke Islam. Pada saat itu, kesenian ini oleh para wali dijadikan sebagai media penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Wali yang pertama kali mengajarkan dan menggelar kesenian jaranan adalah Sunan Ngudung.
Dikisahkan bahwa kesenian jaranan merupakan penggambaran dari kisah perjuangan Raden Fatah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Substansi nilai yang disuguhkan dalam kesenian ini selain mengandng nilai-nilai estetika, juga nilai-nilai kebaikan (ma’ruf) dan mencegah kebathilan (munkar). Kebaikan dan kemunkaran merupakan nilai yang melekat (tabiati) dalam keseluruhan dimensi kemanusiaan sebagai insan beragama. Jaranan juga mengandung nilai yang memotivasi manusia agar memiliki etos kerja tinggi dalam menghadapi kompetisi hidup yang keras. Literatur lain menyebutkan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I kesenian jaranan dikisahkan sebagai tarian perang pasukan Mataram dalam menghadapi pasukan Belanda. Kesenian jaranan disebutkan juga dikembangkan oleh sisa-sisa prajurit Pangeran Diponegoro untuk menyatukan rakyat pribumi melawan penjajah.
Keterkaitan antara kesenian dan dakwah paralel dengan dua sisi mata uang koin yang saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan memiliki kesamaan misi yaitu sebagai perantara pesan kepada seseorang atau kelompok. Islam merupakan mata air bagi kesenian dan sebaliknya kesenian digunakan untuk ketinggian syiarnya agama. Islam tidak mengenal konsep dan paham “seni untuk seni”, tetapi seni untuk akhlak al karimah. Pada masa transisi dari Hindu ke Islam pada abad 14 – 15 masyarakat Jawa telah memiliki kesenian dan kebudayaan yang mengakar. Sejumlah kesenian dan kebudayaan itu kemudian dimodifikasi untuk keperluan syiar Islam dengan tanpa mengubah substansi nilai di dalamnya, sebagaimana kesenian wayang kulit. Terpisah dari adanya silang pendapat mengenai asal-usul dan tahun kemunculan tari jaranan, fakta sejarah (sebagai diungkap oleh Agus Sunyoto) menunjukkan tari jaranan pernah dijadikan Sunan Ngudung sebagai media dakwah pada masa pemerintahan Raden Fatah. Bathoro Katong, Raja Islam Ponorogo, juga menggunakan kesenian jaranan yang telah dimodifikasi menjadi reog untuk kepentingan dakwah Islam.
Sejumlah atraksi yang ditampilkan melalui lambang dan simbol dalam tari jaranan berkaitan dengan watak dasar manusia. Simbol tersebut kemudian divisualisasikan secara estetis antara kemunkaran, kebenaran, keindahan dan ketuhanan. Unsur dakwah dalam tari jaranan tergambar mulai unsur tari sembahan, instrumen, tembang busana dan tokoh. Unsur gamelan menggambarkan makna moralitas yang ditransmisikan melalui bunyi alat musik mengajak kontemplasi pendengarnya agar selamat di dunia dan akhirat. Unsur tembang memaknakan dan menggambarkan pesan keagamaan agar dijadikan pedoman dalam kehidupan umat manusia. Unsur busana yang disebut dengan “iket” merefleksikan anjuran untuk menutup aurat. Tokoh tari jaranan digambarkan dalam simbol kuda yang ditunggangi manusia agar berjalan lurus sesuai nilai-nilai Islam di tengah berbagai macam godaan untuk berbuat kemunkaran. Simbol kemunkaran dalam tari jaranan digambarkan dengan barongan dan celeng.
Akhirnya dari rekonstruksi sejarah yang dibuat oleh para sejarawan, memperlihatkan bahwa kreativitas Sunan Ngudung menciptakan tari jaranan sebagai fakta bahwa dakwah mampu bersanding dengan tradisi, kebudayaan, dan bahkan keyakinan lain. Ada ungkapan bijak: “kebenaran harus disampaikan dengan cara yang benar pula”. Di antara cara menyampaikan kebenaran itu “merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, menjamu bukan menggurui, dan mengajarkan dengan keramahan bukan kemarahan”.
Selain itu, Kisah Orang Tua Sunan Ngudung juga diunggah melalui akun Facebook Atok Witono pada 17 Maret 2020, dengan judul “MAKAM RADEN SANTRI (KAKAK SUNAN AMPEL) YG TIDAK MASUK DALAM JAJARAN WALISONGO”
Raden Santri atau Sunan Gresik adalah salah satu penyebar agama Islam yang juga merupakan Kakak dari Raden Ali Rachmatullah (Sunan Ampel) dan sepupu dari Maulana Malik Ibrahim. Raden Santri juga dikenal dengan Sayyid Ali Murtadho adalah anak dari Ibrahim Asmaraqandi yang datang ke tanah Jawa untuk menyebarkan Islam. Ibu beliau bernama Dewi Candrawulan (Chandravati). Dewi Candrawulan merupakan putri Sultan Kuthara (Kerajaan Champa) yang bernama Bong Tak Keng dari pernikahannya dengan Putri Indravarman VI (Putri Raja Champa). Bong Tak Keng berasal dari Suku Hui beragama Islam yang mendapat amanah menjadi pimpinan Komunitas Cina di Champa sekaligus Duta Cina untuk Champa oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Po Bo/Haji Mahmud Shams) dari Dinasti Ming.
Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dan sebagai tokoh panutan, Beliau di beri gelar Raja Pendito Wunut. Gelar ini merupakan anugerah rahasia yang diberikan oleh raja Majapahit untuk penguasa yang beragama Islam. Beliau menyebarkan agama Islam di Jawa khususnya Gresik. Madura, Bali, dan Ampenan Nusa Tenggara. Beliau adalah tokoh Islam seangkatan dan sekaligus kakak Raden Rachmatullah (Sunan Ampel). Beliau merupakan penerus syiar agama Islam di Gresik setelah Maulana Malik Ibrahim.Beliau datang ke Jawa menyertai ayahnya bernama Syekh Ibrahim Asmaraqandi untuk menyebarkan agama Islam. Sekaligus silahturrahmi ke bibinya, Dewi Condro Wulan / Dwarawati yang menjadi istri Prabu Kertajaya / Brawijaya. Selama setahun di Majapahit, beliau hendak balik ke Campa tapi negeri tesebut sudah hancur dan dikuasai raja Pelbegu dari kerajaan Koci. Berkat saran raja Kerjajaya, Raden Santri disuruh menetap di Gresik. Beliau menikah dengan Rara Siti Taltun atau RA. Madu Retno binti Aryo Baribin (Madura) dan mempunyai 4 anak bernama Usman Haji (Sunan Ngudung), Haji Usman, Nyai Gede Tundo, dan Ali Musytar. Selanjutnya Usman Haji setelah dewasa meminang putri Tumenggung Wilwatikta dan mempunyai anak bernama Amir Haji / Ja’far Sodiq atau dikenal dengan Sunan Kudus, dan Dewi Sujinah. Haji Usman menikah dengan Siti Syari’at binti Sunan Ampel mempunyai anak bernama Amir Hasan (Sunan Manyuran). Sedangkan Nyai Gede Tundo menikah dengan Khalifah Husain (Sunan Kertoyoso) mempunyai anak Khalifah Suhuroh. Selain Rara Siti Taltun, Raden Santri juga menikah dengan Dyah Retno Maningjum Binti Arya Tejo.
Mengapa Sayyid Ali Murtadlo / Raden Santri tidak masuk dalam jajaran anggota wali songo? Menurut Drs. H. Muhammad Kholil dalam buku “PUNJER WALI SONGO” tahun 1403 disebutkan Raden Santri mendarat di Gresik. Beliau melanjutkan perjalanan karena mendapat tugas mensyiarkan Islam wilayah Madura, Bali, lombok dan Nusa Tenggara. Beliau kembali ke Gresik setelah berhasil mengIslamkan daerah-daerah tersebut yang masyarakatnya semula kental suasana Budha dan Hindhu. Pada 9 April 1419 Syekh Maulana Malik Ibrahim Wafat, beliau menggantikan peran Maulana Malik Ibrahim sebagai imam penyebaran Islam di Gresik.
Raden Santri wafat pada tahun 1317 saka / 1449 M. Makam Raden Santri juga termasuk salah satu makam yang banyak dikunjungi sebagai wisata ziarah dan terletak di utara alun-alun kota Gresik, tepatnya di jalan Raden Santri, kelurahan Bedilan di belakang kantor Badan Lingkungan Hidup kabupaten Gresik. Makam beliau termasuk kuno yang dikeramatkan.
Beberapa nama lain/gelar beliau di antaranya:
1. Raja Pandhita Bima ( berdakwah di NTB)
2. Sunan Lembayung (berdakwah di Madura)
3. Raja Pandhita Wunut
4. Dian Santri Ali
5. Raden Samat
6. Raden Atmaja
7. Ngali Murtolo
8. Ali Hutomo
9. Ali Musada
10. Sunan Lembayung Fadl
11. Fadl As-Samarqandiy
Lahumul Fatihah.....
Istri Sunan Ngudung, “Jiddah Siti Syari'ah”
Pesarean Jiddah Siti Syari'ah Binti Sunan Ampel di Tasik Madu, Palang, Panyuran Tuban
Yang meresmikan Pesarean Beliau adalah Almarhum Gus Dur ..
Beliau adalah Istri dari Sunan Ngudung dan Ibu dari Sunan Kudus)
“Makam Siti Syariah Ulama Wanita di Tuban, Sering Dikunjungi Peziarah Minta Jodoh
Julukan sebagai Tuban Bumi Wali tentunya bukan tanpa alasan, sebab julukan tersebut diberikan kepada Kabupaten Tuban, karena banyaknya makam para ulama penyebar agama Islam di Kabupaten Tuban.
Pada umumnya kita akan sering dengar nama-nama terkenal seperti Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang, atau Raden Gagar Manik Tundung Musuh. Namun dari beberapa ulama yang ada di Kabupaten Tuban ini mayoritas adalah seorang laki-laki.
Dari Sekian ulama laki-laki ternyata ada salah satu makam ulama perempuan di Kabupaten Tuban, yang masih terjaga dan terawat hingga saat ini, ulama tersebut adalah Siti Syariah Tasikmadu.
Makam Siti Syariah sendiri berada di Desa Tasikmadu, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Oleh masyarakat sekitar diyakini bahwa Siti Syariah adalah putri dari Sunan Ampel dengan istri Dewi Condrowati. Selain itu juga diyakini sebagai cucu dari Syekh Maulana Ibrahim Asmoroqondi yang makamnya juga ada di Palang.
Menurut salah satu penjaga makam Siti Syariah, Mulyono (51) mengatakan bahwa Siti Syariah bisa sampai di Kabupaten Tuban karena ia mengembang tugas dari sang ayah untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Kabupaten Tuban.
"Beliau memang ditugaskan oleh ayahnya Sunan Ampel untuk berdakwah di Tuban," ujar Mulyono.
Mulyono kurang begitu bisa memberikan keterangan terkait bagaimana cara dakwah yang dipakai oleh Siti Syariah di Kabupaten Tuban. Serta Ia juga tak bisa begitu menjelaskan bagaimana perjalanan hidup dari Siti Syariah ketika masih hidup hingga meninggalnya dunia.
Namun Mulyono tetap memberikan sedikit keterangan yang ia ketahui kepada blokTuban seperti cerita bahwa area pemakaman dari Siti Syariah saat ini dulunya merupakan kebun milik Siti Syariah, sedangkan untuk rumah atau dari Siti Syariah berada di sebelah timur makam Siti Syariah saat ini, dan berada sekitar 1 kilometer dari makam.
Selain itu Mulyono juga mengatakan, bahwa salah satu hal yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat yaitu ketika ada seseorang yang sulit atau belum mendapat jodoh mereka akan datang ke makam untuk bertawasul dan berdoa.
"Biasanya ada beberapa orang yang ziarah ke sini, agar segera mendapatkan jodoh," imbuhnya.
Dengan adanya hal tersebut Mulyono sering memberikan himbauan kepada para peziarah agar para peziarah tak menyelewengkan niatnya, dan tetap meminta kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Area makan-makan ramai didatangi oleh peziarah ketika malam Jumat dan hari Jumat, Sedangkan untuk peziarah sendiri biasanya yang datang tak hanya dari Tuban saja, namun dari luar Tuban juga banyak seperti dari Surabaya, Jombang, Rembang, bakahan dari Sumatera juga ada yang mampir ke makam Siti Syariah.
"Banyak Mas yang datang ke sini, biasanya mereka itu berziarah atas perintah kyai di sana agar ketika di Tuban mampir di makam Siti Syariah," bebernya.
Seperti makan-makam ulama lain yang ada di Tuban, disini juga setiap tahunnya pasti ada acara haul, namun untuk waktu acara haul makam Siti Syariah masih bisa berubah-ubah tergantung situasi dan kondisinya dan kesepakatan desa.
Dalam acara haul tersebut nantinya akan diisi oleh berbagai acara seperti sholawatan ataupun pengajian.
Dari Pantauan blokTuban di area makam Siti Syariah, makam putri Sunan Ampel ini masih sangat terjaga, dan tampaknya perawatannya pun cukup intens hal ini terlihat dari kebersihan makam.
Masuk di area makam kita akan melihat sebuah cungkup yang dikelilingi oleh pagar. Untuk masuk ke dalam cungkup kita harus melewati sebuah gapura dari pagar tersebut.
Saat melewati gapura yang memiliki pintu dari kayu itu kita harus menunduk sebab gapura tersebut cuma memiliki tinggi sekitar satu meter setengah. Selain itu ketika berziarah di sini yaitu kita harus melepas alas kaki kita di depan gapura tersebut.
Selepas masuk area makam kita boleh memilih untuk berziarah di dalam cukup maupun di luar cungkup. Namun jika kita hendak berziarah di dalam cukup terdapat aturan agar saat berziarah dalam kondisi suci dan memiliki wudhu.
Masuk ke dalam cungkup kesan pertama yang dirasakan penulis yaitu aroma harum dari bunga yang ditaruh di atas makam Siti Syariah. Di dalam cungkup yang terbuat dari kayu ini, kita akan temui dua makam yang di balut dengan kain mori.
Dua makam tersebut, satu berukuran besar dan sebelah baratnya berukuran agak kecil. makam yang berukuran besar tersebut adalah makam dari Siti Syariah sedangkan makam yang berada di sebelah barat masih belum diketahui.
Selain aroma harum kesan yang dirasakan reporter blok Tuban saat masuk di dalam cukup tak ada kesan menyeramkan sama sekali, malah reporter berita online ini merasakan sebuah ketenangan tersendiri ketika berada di dalam cungkup, selanjutnya di dalam cukup juga difasilitasi oleh pengurus lampu penerangan dan juga kipas angin.
Untuk datang ke lokasi ini juga akses menuju makam sangatlah mudah sebab kita tinggal melintasi Jalan Daendels, dan nantinya jika kita sudah temui sebuah masjid besar dengan nama masjid Jami Nurul Ula yang berada di sebelah timur Wisata Pantai Kelapa.
Kemudian kita temui ada gang dengan gapura besar bertuliskan makam Siti Syariah binti Sunan Ampel, kita tinggal masuk Sekitar 500 meter nantinya ada lapangan, kita tinggal belok kanan sedikit akan kita temui makam dari Siti Syariah.
“Kisah Siti Syariah Putri Sunan Ampel, Menyebar Islam di Tuban dan Harus LDR dengan Suami”
Bagi warga masyarakat Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban mungkin sudah tidak asing lagi dengan Siti Syariah, diyakini ia adalah putri dari Sunan Ampel.
Namun ternyata selain mengemban tugas dari sang ayah untuk menyebarkan agama Islam di Kabupaten Tuban.
Ternyata terdapat sebuah kisah cinta unik yang dijalani oleh Siti Syariah dengan sang suami.
Menurut salah satu penjaga makam Siti Syariah, Mulyono (51) mengatakan pertemuan antara Siti Syariah dan sang suami tidak ia ketahui namun yang jelas suami dari Siti Syariah, Jalan Ki Ageng Manyuro.
"Suami dari Siti Syariah ialah Ki Ageng menyuruh dan saat ini makam dari Ki Ageng Manyuro juga masih belum diketahui," ujar Mulyono (51)
Mulyono menambahkan bahwa Ki Ageng Manyuro adalah seorang senopati di sebuah kerajaan, dengan tugas yang diemban kedua pasang suami istri ini kerap tak bertemu.
Hal inilah yang membuat Siti Syariah dan sang suami harus menjalani hubungan jarak jauh atau Long Distance Relationship (LDR).
Dan salah satu cara unik yang dilakukan oleh kedua pasang suami istri ini untuk mengobati rindu karena tak jumpa, yaitu dengan cara berkomunikasi lewat sebuah sumur.
"Untuk berkomunikasi Siti Syariah disuruh sang suami melihat ke bawah (nganguk) ke dalam sebuah sumur ," imbuhnya.
Setelah Siti Syariah ngangguk ke dalam sumur tersebut nantinya di dalam air akan terlihat Ki Ageng Manyuro dan merekapun akan berkomunikasi lewat sumur tersebut.
Untuk keberadaan sumur sendiri ada dua sumur, yaitu yang terletak di masjid Masjid Jami Nurul Ula Palang dan yang ada di makam dalem.
Makan dalem sendiri diyakini oleh masyarakat dulunya sebagai lokasi rumah milik Siti Syariah.
Namun menurut Mulyono, saat ini sumur yang berada di masjid sudah tertutup dan menyisakan sumur yang ada di makam.
"Untuk sumur sendiri saat saat ini yang masih bisa dilihat wujudnya yaitu yang ada di makam dalem,"
Dari pantauan blok Tuban di lapangan sumur yang berada di makam dalem, kondisinya masih terawat dengan dikasih sebuah cungkup kecil dari kayu, serta tampak juga di dalam sumur masih ada air di dalamnya.
Makam Putri Sunan Ampel Siti Syariah di Desa Panyuran Tuban
Siti Syariah atau juga dikenal dg sebutan Nyai Ageng Manyuran adalah putri Sunan Ampel.
Kalo dilihat dari silsilah, beliau anak Sunan Ampel dari pernikahan dg Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi, berputera:
1.Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/Sunan Bonang/Bong Ang 2.Syarifuddin/Raden Qasim/Sunan Drajat
3.Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/Nyai Ageng Manyuran
4.Siti Muthmainnah
5.Siti Hafsah
Isteri Kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:
1.Dewi Murtasiyah/ IstriSunan Giri.
2.Dewi Murtasimah/ Asyiqah/
Istri Raden Fatah
3.Raden Husamuddin (Sunan Lamongan) 4.Raden Zainal Abidin (Sunan Demak) 5.Pangeran Tumapel
6.Raden Faqih (Sunan Ampel 2)
(Jika silsilah belum lengkap atau berbeda, bisa dikoreksi )
Lokasi makam memang agak masuk di jalan raya Panyuran Tuban tetapi ketika sampai di sana suasana hening dan sejuk sangat terasa. Monggo yang arah ke Tuban dan mau mampir, dipersilahkan.
Rangkuman yang saya tulis bersumber dari :
1. Kitab “Akhlal Musamaroh” Karya Mbah Fadhol Tuban
2. Kitab "Tarich Al-Auliya" yang disusun oleh K.H. Bisyri Musthofa Rembang
3. Kitab Al Fatawi Karya R. Kawisa Adimerta
4. paninews.com
5. jatimnu.or.id
6. nursyamcentre.com
7. menaramadinah.com
8. bloktuban.com
9. Suzan Mawardi Al Manshouri
Dan bila ada yang mempunyai sumber lainnya tentang Sunan Ngudung, kami siap menambahkan di tulisan berikutnya.